Tampaknya pemerintah kota DKI Jakarta serta penduduknya pantas belajar dari pihak peneliti di Amerika Serikat berkait problem kemacetan lalu lintas. Sebab, di luar keterbatasan panjang dan lebar jalan, penyebab terjadinya kemacetan dipicu oleh prilaku buruk pengemudi serta rendahnya kualitas manajemen jalan raya.
Kita semua tahu bahwa kota Jakarta kini telah menjadi neraka bagi seluruh warganya. Tidak cuma pengguna kendaraan bermotor, kemacetan Jakarta bahkan telah mengorbankan kenyamanan para pejalan kaki akibat trotoar kerap dilintasi sepeda motor.
Pengendara kendaraan bermotor di Jakarta seakan tidak punya pilihan. Mereka kerap melanggar karena merasa tak ada rambu atau norma yang dilanggar. Kondisi ini lebih sering terjadi karena minimnya informasi tanda jalan atau lebih karena keterpaksaan akibat waktu.
Mematuhi atau menjalani norma yang berlaku seakan tidak popular di tengah lalu lintas Jakarta sekarang ini. Mereka yang mengalah untuk memberi kelancaran acap kali justru terkurung dalam kemacetan itu sendiri.
Contoh sederhana akan terjadi apabila pengemudi menyalahan lampu sign ketika ingin berbelok. Dalam kondisi ini umumnya kendaraan di belakang tidak memberi jalan. Alhasil, kini kita mudah melihat kendaraan bermotor yang berbelok atau berpindah lajur tanpa memberikan sign.
Teori matematika yang dikeluarkan pihak asuransi di AS ini setidaknya juga telah diterapkan di beberapa jalan di Ibu Kota Jakarta. Namun mengingat kualitas pengendara di Jakarta yang masih rendah terhadap pemahaman pemicu kemacetan, mengakibatkan efektifitas sistem yang diterakan jadi tak terasa.
Gambar ilsutrasi di bawah ini setidaknya bisa menjadi pelajar bagi para penentu kebijakan di DKI Jakarta serta masyarakat pengguna jalan raya. Kecuali kejadian umum, yaitu kecelakaan dan pembangunan jalan, seharusnya kemacetan Jakarta bisa dikurangi apabila pengemudi paham akibat kemacetan.
Kita semua tahu bahwa kota Jakarta kini telah menjadi neraka bagi seluruh warganya. Tidak cuma pengguna kendaraan bermotor, kemacetan Jakarta bahkan telah mengorbankan kenyamanan para pejalan kaki akibat trotoar kerap dilintasi sepeda motor.
Pengendara kendaraan bermotor di Jakarta seakan tidak punya pilihan. Mereka kerap melanggar karena merasa tak ada rambu atau norma yang dilanggar. Kondisi ini lebih sering terjadi karena minimnya informasi tanda jalan atau lebih karena keterpaksaan akibat waktu.
Mematuhi atau menjalani norma yang berlaku seakan tidak popular di tengah lalu lintas Jakarta sekarang ini. Mereka yang mengalah untuk memberi kelancaran acap kali justru terkurung dalam kemacetan itu sendiri.
Contoh sederhana akan terjadi apabila pengemudi menyalahan lampu sign ketika ingin berbelok. Dalam kondisi ini umumnya kendaraan di belakang tidak memberi jalan. Alhasil, kini kita mudah melihat kendaraan bermotor yang berbelok atau berpindah lajur tanpa memberikan sign.
Teori matematika yang dikeluarkan pihak asuransi di AS ini setidaknya juga telah diterapkan di beberapa jalan di Ibu Kota Jakarta. Namun mengingat kualitas pengendara di Jakarta yang masih rendah terhadap pemahaman pemicu kemacetan, mengakibatkan efektifitas sistem yang diterakan jadi tak terasa.
Gambar ilsutrasi di bawah ini setidaknya bisa menjadi pelajar bagi para penentu kebijakan di DKI Jakarta serta masyarakat pengguna jalan raya. Kecuali kejadian umum, yaitu kecelakaan dan pembangunan jalan, seharusnya kemacetan Jakarta bisa dikurangi apabila pengemudi paham akibat kemacetan.
Sumber : www.dapurpacu.com
No comments:
Post a Comment